Kamis, 20 Juni 2013

Hari Raya Nyepi

Ogoh-ogoh, Simbol Bhuta Kala Menjelang Nyepi
image

imagehttp://www.pandebaik.com/wp-content/uploads/2013/03/Br-Kedaton-Sumerta.jpg
http://www.pandebaik.com/wp-content/uploads/2013/03/wpid-rps20130307_162952.jpgimage
Sehari sebelum Nyepi, masyarakat Hindu khususnya di Bali, melaksanakan tradisi pengrupukan. Tradisi ini semacam prosesi mengembalikan bhuta kala ke asalnya. Menurut kepercayaan, mereka dibangunkan dengan alat-alat, umumnya obor; api saprakpak, sembur meswi, bunyi-bunyian kentongan yang dibawa mengelilingi seisi rumah. Sementara itu, berwujud ogoh-ogoh, sang “bhuta kala” lalu diarak menuju catus pata, perempatan.
Pawai ogoh-ogoh
hampir selalu diadakan tiap kali menyambut hari raya Nyepi. Rupa mereka direka sedemikian rupa dengan variasi bentuk menyeramkan. Ada yang berwujud raksasa, perjelmaan dewa-dewi dalam murti-nya, mengambil tokoh dari cerita pewayangan atau memakai figur-figur yang sedang populer. Mereka dirakit memadukan estetika seni yang memikat secara visual.
Hampir setiap tahun, keberadaan ogoh-ogoh bak penggenap wajib dalam tradisi menyambut Nyepi. Pawai semarak selalu menjadi atraksi yang dinanti. Kebanyakan orang pasti bertanya perihal cikal bakal ogoh-ogoh dalam tradisi menyambut Nyepi. Salah satu yang tergelitik adalah Kadek Adhi Indrayana. Dia membuat penelitian tentang ogoh-ogoh secara akademis.
Lulusan S1 Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yang mengambil program S2 Kajian Budaya ini, mengangkat keberadaan ogoh-ogoh dalam kaitannya dengan ritual Nyepi. Dalam tesisnya, putra pemilik Sanggar Gases Bali ini mencoba mengupas keberadaan ogoh-ogoh dalam hal bentuk, fungsi, dan makna. Ditemui di kantor kecilnya di Jalan Dukuh Sari ketika tengah melayani pelanggan pekan lalu, Kadek Adhi berbagi cerita sekaligus berkenan membagi materi tesisnya.
Ia mengawali perbincangan dengan mengatakan, ogoh-ogoh sebagai suatu bentuk perwujudan. “Ogoh-ogoh sesungguhnya merupakan gambaran akan bhuta kala yang diwujudkan ke dalam suatu bentuk,” terang Kadek Adhi.
Penamaan ogoh-ogoh pun diambil dari sebutan ogah-ogah dari bahasa Bali. Artinya sesuatu yang digoyang-goyangkan. Ogoh-ogoh diabadikan bahkan dalam sebuah lagu Bali cukup populer. Kata-kata itu dicatumkan sebagai lirik berbunyi “ogah-ogah, ogoh-ogoh, kala-kali lumamapah/ ogah-ogah, ogoh-ogoh, ngiterin desa…”.
Tahun 1983 bisa menjadi bagian penting dalam sejarah ogoh-ogoh di Bali. Pada tahun itu mulai dibuat wujud-wujud bhuta kala berkenaan dengan ritual Nyepi di Bali. “Ketika itu ada keputusan presiden yang menyatakan Nyepi sebagai hari libur nasional,” tutur Kadek Adhi. Semenjak itu masyarakat mulai membuat perwujudan onggokan yang kemudian disebut ogoh-ogoh, di beberapa tempat di Denpasar.
Budaya baru ini semakin menyebar ketika ogoh-ogoh diikutkan dalam Pesta Kesenian Bali ke XII. Delapan kabupaten ikut berkontribusi. Sebelum itu, menurut Kadek Adhi, hanya ada pawai-pawai tanpa ada bentuk perwujudan.
Lelakut
Tradisi mengembalikan Bhuta Kala ke asalnya di hari pengrupukan, disimbolkan dengan ogoh-ogoh, mirip tradisi lama masyarakat Hindu Bali. Tradisi Barong Landung, Tradisi Ndong Nding dan Ngaben Ngwangun yang menggunakan ogoh-ogoh Sang Kalika, disebutkan Kadek Andhi bisa juga dirujuk untuk menelusuri cikal bakal wujud ogoh-ogoh.
Di dalam babad, tradisi Barong Landung berasal dari cerita tentang seorang putri Dalem Balingkang, Sri Baduga dan pangeran Raden Datonta yang menikah ke Bali. Tradisi meintar mengarak dua ogoh-ogoh berupa laki-laki dan wanita mengelilingi desa tiap sasih keenam sampai kesanga. Visualisasi wujud Barong Landung inilah yang dianggap sebagai cikal bakal lahirnya ogoh-ogoh dalam ritual Nyepi.
“Ada tradisi Ndong-nding yang bisa juga dirujuk,” tambah Kadek Adhi. Ngusaba Ndong nding semacam tradisi pengusiran hama di Karangasem, menurut Kadek Adhi, ritual ini menggunakan lelakut, semacam orang-orangan sawah. Hama diibaratkan sebagai sang bhuta kala, energi negatif yang mengganggu manusia.
Begitu halnya ketika hari pengrupukan. Sang Bhuta Kala diberi upah berupa pecaruan, lalu disomya, disadarkan agar kembali ke asalnya. Dualisme itu ada dan harus diseimbangkan.
“Ada mantra khan yang bunyinya dewa ya, bhuta ya, kala ya,” ujarrnya. Diterangkannya, dewa dari div berarti sinar; bhuta dari bhu berarti gelap. Sedangkan kala yang berada di tengah-tengah, berarti energi atau kekuatan bisa juga waktu.
“Maka, ketika kala terpengaruh bhuta dia mengandung energi kegelapan, negatif menjadi bhuta kala. Sebaliknya, begitu juga pada dewa,” terangnya. Sifat-sifat itu juga ada dalam manusia. “Bila kita marah, menyeramkan, kita memiliki sifat-sifat bhuta,” urai kadek Andhi yang juga mengabdi sebagai mangku.
Ogoh-ogoh menurut Kadek Andhi juga digunakan dalam upacara ngaben. “Ada namanya Ngaben Ngwangun, salah satu tingkatan upacara ngaben, bisa berupa kakek atau nenek,” ungkapnya sembari menerangkan juga perihal Sang Kalika.
Kaca Rasa
Ogoh-ogoh merupakan budaya baru di Bali. Kehadirannya menjadi salah satu pelengkap ritual Nyepi. “Ada budaya-budaya yang mengalami proses tersakralisasi dan itu sah-sah saja,” paparnya. Eksistensi tradisi dalam pelaksanaan ritual umat Hindu di Bali saling melengkapi, sudah baur menjadi kesatuan.
Seiring waktu banyak yang mengkaji keberadaan ogoh-ogoh baik dari tafsir agama, seni dan budaya. “Setelah dikaji dan dikaitkan dengan konsep agama, ogoh-ogoh lebih mengarah ke bentuk tradisi,” ujar kadek Adhi.
Ogoh-ogoh merunut jejaknya, kemunculannya lebih kepada suatu bentuk simbolisasi. Menyimbolkan energi-energi negatif sang bhuta kala, dengan perwujudan menyeramkan untuk dipralina, dilebur dengan air maupun api. “Umpamanya, kalau mau mengusir yang jahat pakailah perwujudan yang serem juga,” candanya. Logika ini ia namai dengan konsep kaca rasa, yang memberikan suatu cerminan atas sesuatu yang terlihat.
“Sebagai suatu bentuk karya seni, ia juga tak bisa dilepaskan dari unsur Satyam, Siwam dan Sundaram,” jelasnya. Konsep penciptaan dalam masyarakat Hindu sangat terkait dengan unsur Kebenaran (satyam), kebaikan/kesucian (siwam) dan keindahan (sundaram). [b]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar